Tampilkan postingan dengan label Pemilu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemilu. Tampilkan semua postingan

Mungkinkah Hasil Survei Beda Dengan KPUD?



Pesona pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) luar biasa. Sempat tidak diunggulkan pada awal pelaksanaan pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta, mereka justru sekarang menjadi pemenang.

Kemenangan Jokowi-Ahok bisa dilihat dari hasil hitung cepat (quick count) dari beberapa lembaga survei. Semua lembaga survei yang ikut melakukan quick count hasilnya hampir sama, Jokowi unggul di atas 5 persen atas pesaingnya, Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara).

Kini, jika merujuk hasil survei pasangan Jokowi-Ahok dipastikan menjadi pemimpin baru ibu kota. Keduanya tinggal menunggu waktu untuk ditetapkan oleh KPU DKI Jakarta.

Tetapi, KPUD dalam menetapkan pemenang tidak merujuk pada hasil quick count. KPUD akan melakukan penghitungan sendiri lewat manual.

Prosesnya berjenjang. Mulai dari tingkat terbawah (per TPS) kemudian dikumpulkan menjadi satu ke tingkat kecamatan hingga terkumpul lagi di tingkat kota. Semua dihitung secara cermat.

Berbeda dengan quick count, cara ini menggunakan beberapa sampel di beberapa wilayah di Jakarta. Memang, cara ini masih memungkinkan terjadinya kesalahan. Meski ada kesalahan, mungkinkah hasil quick count beda dengan KPUD?

Manajer Riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Setia Darma mengatakan, hasil KPUD kemungkinan sama. Kalau pun ada perbedaan, tidak terlalu besar.

"Hasil ini nantinya dapat dipastikan hampir sama dengan perolehan KPU sekalipun ada kesalahan paling hanya berbeda satu persen," kata Darma.

Hal ini berdasarkan pengalaman survei LSI pada pemilihan legislatif dan presiden pada tahun 2009. "Di mana LSI dibandingkan lembaga survei lainya lebih menyerupai dari hasil KPU," ujar dia.

Darma menegaskan, lembaga surveinya juga pernah melakukan survei beberapa pemilihan kepala daerah lain dan hasilnya sama dengan KPUD. "Tidak berbeda jauh dari perolehan suara yang sebenarnya," kata dia.

Meski dipastikan menjadi pemenang, Jokowi tetap akan menunggu hasil penghitungan dari KPUD. "Masih ada proses-proses demokrasi lainnya. Biarkan KPUD yang bekerja selanjutnya," kata Jokowi.

Sementara rivalnya, Foke, menyakini hasil quick count. Calon incumbent ini mengakui kekalahannya. Sebab, hasil quick count sudah bisa dijadikan patokan.

"Hitungan cepat dilakukan dengan metode ilmiah, patut kita respek. Hasil hitungan cepat sudah kami ketahui, kami respek dengan baik," ujar Foke.

Setelah mengetahui hitung cepat, Foke berharap Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta bisa menyelesaikan dengan baik. KPU DKI masih mempunyai pekerjaan rumah, salah satunya penghitungan secara manual.

"Saya juga mengucapkan selamat kepada nomor urut tiga. Semoga amanah yang diberikan kepada warga Jakarta hendaknya bisa dipertanggungjawabkan dengan baik," ujar Foke.

Berikut hasil quick count beberapa lembaga survei:

Lembaga Survei Indonesia (LSI):

Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli: 46,19 persen
Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama: 53,81 persen

Indobarometer:

Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli: 45,89 persen
Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama: 54,11 persen

Lingkaran Survei Indonesia (LSI):

Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli: 46,32 persen
Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama: 53,68 persen

Saiful Mujani Research and Cosulting (SMRC):

Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli: 47,13 persen
Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama: 52,87 persen

Kompas:

Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli: 47,03 persen
Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama: 52,97 persen

Jokowi Unggul Hampir Di Semua Survei




Jakarta
 Sejumlah lembaga survei sudah merilis hasil akhir hitung cepat Pilgub DKI. Meski dengan metoda dan jumlah sampel yang berbeda, hasilnya semua hampir sama. Pasangan Jokowi-Ahok menang.

Hitung cepat ini digelar real time dari sejumlah TPS di Jakarta. Sebagian ada yang disiarkan langsung televisi, sebagian lagi merilisnya di lokasi tertentu.

Berikut hasil hitung cepat lembaga survei Pilgub DKI Jakarta:

1. Quick Count LSI-TV One: Jokowi-Ahok 53,68%, Foke-Nara 46,32%.

2. Indo Barometer-Metro TV: Jokowi-Ahok 54,11%, Foke-Nara 45,89%.

3. LSI-SCTV: Jokowi-Ahok 53,81 persen, Foke-Nara 46,19 persen.

4. Kompas: Jokowi-Ahok 52,97 %, Foke-Nara 47,03% 

5. INES: Jokowi-Ahok 57,39%, Foke-Nara 42,61%

6. MNC Media-SMRC: Jokowi-Ahok 52,63, Foke-Nara 47,37 persen.

Jokowi-Foke Memberi Pelajaran Apakah Kelak Nanti?


Pelajaran apakah yang kita dapat dari peristiwa 20 September 2012 kelak, di DKI Jakarta Raya? Para pihak yang berkepentingan langsung maupun tidak, hari-hari ini akan menunggu, harap-harap cemas, ap
a yang akan terjadi.



Benarkah Joko Widodo dan Basuki Cahaya Purnama akan menang dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta, ataukah Fauzi Bowo dan Nachrowie Ramli yang akan memenangkan putaran kedua setelah pada putaran pertama dipecundangi Jokowi-Ahok.


Tentu saja semuanya akan sangat tergantung pada para pemegang hak pilih, dan juga kejujuran serta ketidakberpihakan para panitia pemilihan sehingga bisa menegakkan pemilihan yang fairness. Dalam hal ini, para ahli dan tukang survey, tak berani lagi jumawa memprediksi hasilnya, setelah analisis ilmiah mereka terjungkalkan pada pemilihan putaran pertama yang dimenangkan Jokowi-Ahok.


Tapi poin penting yang menginspirasi dalam peristiwa ini, ada ghirah politik rakyat, yang memposisikan head-to-head melawan parpol, sekalipun Jokowi-Ahok bukan dari jalur independen (melainkan dari PDI Perjuangan dan Gerindra). Namun personalitas Jokowi-Ahok mengalahkan partai politik pendukungnya, melawan parpol mayoritas yang mendukung Foke-Nara. Kotak-kotak phenomenon.


Jika pasangan Jokowi-Ahok menang, maka ini isyarat penting bagi parpol, bahwa hari-hari ini, rakyat sedang mengirimkan sinyal peringatannya. Bahwa para demagog dan oligarkis parpol tak lagi bisa main-main dengan daulat rakyat. Dan itu mesti menjadi renungan penting mereka menjelang 2014.


Namun jika Foke-Nara yang memenangkan partarungan politik ini, banyak hal perlu dicermati pengaruh-pengaruhnya, yakni akan bermunculkan klaim-klaim politik atas nama dan bendera-bendera eksklusivisme yang bisa jadi tidak produktif, mengenai isyu-isyu kepolitikan, suku, ras, dan agama, yang banyak dikatakan oleh elite politik kita sebagai sesuatu yang wajar (seperti dikatakan oleh Marzuki Alie, Mubarok, Anas Urbaningrum, Wiranto, Suryadharma Ali, Rhoma Irama, para elite PKS, FPI, dan sejenisnya, yang melontarkan wacana isyu SARA bisa ditolerir).


Senyampang dengan itu, jika kemungkinan Foke-Nara menang, maka semakin kuat dugaan kita, bahwa jejaring sosial-media di Indonesia, bukanlah pencerminan kenyataan sosial-politik kita, melainkan hanyalah benar-benar dunia maya kelas sosial tertentu, yang tidak terintegrasikan dengan kenyataan sosialnya. Lebih celaka lagi, jika jejaring sosial itu hanya dipakai sebagai masturbasi politik, euforia seolah demokratisasi sedang berjalan. Karena juga tak bisa ditutupi, para pendukung Jokowi-Ahok di dunia maya sebagian tentu bukanlah pemegang kartu-suara Pilkada Jakarta 2012, sebagaimana kita juga tak tahu seberapa besar dari 7 juta pemegang kartu suara itu mengakses media internet dan aktif di jejaring sosial media.


Adakah benar-benar Jokowi dan Ahok, sebagaimana para cowboy dari desa-desa di Amerika (dengan baju kotak-kotaknya yang khas, dengan muka kotor-berdebu, namun suka cengar-cengir ndesit itu), memenangkan pertarungan melawan para petinggi kotapraja, yang dalam film-film western suka digambarkan duduk di kursi goyang menunggu setoran? Cobalah tonton film-film western klasik tahun-tahun 1970-an, dan pindahkan settingnya di Jakarta September 2012.


Semoga kita mendapatkan pelajaran bermutu, dari kampanye-kampanye politik yang tidak bermutu dari siapapun para kandidat yang maju dalam Pilkada DKI Jakarta ini.



SUMBER

Baju Kotak-kotak Diprotes, FPDIP Minta Kumis Dilarang



Panasnya Pemilihan Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta rupanya merasuki ruang sidang Komisi III DPR. Menjelang jeda rapat siang hari, Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin mengritik sejumlah anggota fraksi PDIP dan Gerindra yang mengenakan baju kotak-kotak yang dikenal merupakan seragam khas kampanye Jokowi-Basuki.

"Tolong anggota Komisi III yang mengenakan baju kotak-kotak salah satu pendukung calon gubernur DKI, agar mengganti bajunya secara sukarela. Forum rapat ini jangan dijadikan kampanye terselubung bagi kandidat Pilkada DKI 20 September," kata Aziz dalam rapat di Komisi III DPR, Jakarta, Senin 17 September 2012.

Politisi PDIP Trimedya Panjaitan, salah satu yang mengenakan baju yang disentil Aziz, langsung merespons. Dia menolak permintaan Aziz yang berasal dari Partai Golkar itu. Sebab, kata dia, hal itu tidak dinyatakan sebagai pelanggaran pilkada.

"Karena saya salah satu yang disebut, saya ingin menunjukkan surat KPUD. Tidak ada larangan memakai baju kotak-kotak. Kita tidak perlu khawatir, kita lihat tanggal 20 seperti apa," kata Trimedya.

Tanggal 20 yang dimaksud tentu adalah hari pemungutan suara putaran kedua pemilihan Gubernur DKI Jakarta, pada 20 September 2012 nanti.

Tak mau kalah, Aziz kembali angkat bicara. Dia kembali menuding bahwa dengan mengenakan baju kotak-kotak, para anggota Dewan itu tengah melakukan kampanye terselubung. "Apa iya, penggunaan seragam tertentu bukan kampanye terselubung. Kalau tidak terselubung, itu munafik," kata Aziz, gusar.

Politisi PDIP Sayed Mulyadi menimpali. Meski tidak mengenakan baju kotak-kotak, rupanya dia merasa perlu angkat bicara juga. "Kalau soal etika, nanti saya minta juga yang berkumis tak usah ke sini. Kalau begitu Pak Kapolri dan Jaksa Agung juga perlu diminta nggak usah masuk ruang sidang," ujarnya, disambut gelak tawa hadirin. Kumis menjadi semacam ikon kampanye Fauzi Bowo


Sumber